Memulai perjalanan di belahan bumi yang konon katanya terlahir ketika Tuhan sedang tersenyum (1)

Ikrima Barrorotul Farikhiyah
7 min readFeb 25, 2023

--

Bandung in sunny and rainy (Bandung, 2023)

Awal tahun 2023, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bumi Pasundan. Namun sayangnya, keputusan itu membuatku harus meninggalkan salah satu kota istimewa di Indonesia, terima kasih Yogyakarta. Dari Yogyakarta ke Bandung, dari segi citra dan romantisasinya, keduanya cukup apple to apple jika ingin dibandingkan. Jadi perpindahan antar 2 kota tersebut bukanlah sesuatu yang berat dan perlu disayangkan (seharusnya). So, It’s okay girl, jika kamu meninggalkan kota yang terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Toh kamu menuju ke kota yang terlahir ketika tuhan sedang tersenyum ☺ Meskipun sudah hampir 2 bulan, senyuman itu belum sepenuhnya menular padaku. But my Bandung friend said “senyum lah ntar juga” and I said “okey, huhu”

Aku mengawali perjalanan dengan kereta malam seorang diri, dan sampai di Bandung pagi hari. Bagi sebagian bahkan kebanyakan orang, it’s so pity…. but, not for me. It’s too ordinary. Kalau kata Emilia in her song,

I’m a big, big girl

In a big, big world

It’s not a big, big thing

If you leave me

*but don’t leave me, please….. hehehe

Pertama menginjakkan kaki di Bandung, tidak ada rasa ketakutan, hanya kekosongan. I just walked based on digital map, but no clue and no direction. Aku book hotel untuk beberapa malam, namun karena kedatanganku terlalu pagi, and I didn’t want to spend more money to check in early, so while waiting, I just walked around the hotel to see the office where I work and look for boarding house. Selama jalan-jalan singkat itu, I got 3 times catcalling, fuck it! and that day, it was hard for me to find the boarding house.

Meskipun demikian, perjalanan singkat itu aku lalui bukan tanpa hal yang menarik, bahkan sampai sekarang cukup mengusik pikiranku. Aku akan cerita tentang salah satu sosok yang aku temui pada hari itu. Dia adalah seorang pensiunan, pengusaha, dan pemilik kos-kos an, seorang bapak keturunan cina, usia kepala 5 hampir 6 mungkin, yang bisa dibilang sukses dan saat ini tinggal menikmati sisa hidupnya karena tidak ada lagi hal yang harus dia perjuangkan mati-matian. Eitss,,,, tapi dia masih punya 1 hal yang dikawatirkan (Ya begitulah hidup, selalu ada hal yang ditakutkan dan dikawatirkan). Sekitar dua jam percakapan kami, banyak hal yang kami bicarakan, beberapa bagian inspiratif, beberapa bagian menyenangkan, dan beberapa bagian exhausting, till now there are some things that disturb and stuck on my mind.

Status sosial ekonomi mendorong jiwa kriminal seseorang

Percakapan itu diawali dengan bahasan yang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, namanya pertemuan awal apalagi ada tujuan untuk singgah, beberapa orang butuh tau profil dan latar belakang satu sama lain. Ku coba memaklumi, toh syukurnya aku tidak memiliki riwayat buruk (menurutku dan seingatku). Meskipun hal-hal tersebut bisa saja tidak dipertanyakan, toh bisa saja hanya bersifat transaksional antara pemilik dan penyewa. Singkat cerita, bapaknya memiliki standar, spesifikasi, syarat atau apalah namanya untuk para calon penguni kosnya. Bapaknya mematok jenis pekerjaan tertentu untuk orang yang ingin singgah di tempatnya, yaitu pegawai PNS dan BUMN serta berbagai aturan untuk hidup bersama dengan yang lainnya. Sebagai seseorang yang masih berstatus pegawai kontrak di salah satu dinas provinsi, tentu aku mengkonfirmasi apakah aku masih diperbolehkan? karena dari berbagai syarat dan aturan yang diajukan, tentu aku sudah tidak memenuhi disyarat pertama, sedangkan syarat dan aturan lainnya masih bisa kupenuhi. Bapaknya dengan cepat merespond “oh tidak masalah, di sini juga ada yang kerja di dinas itu, dia adalah kepala seksi” lalu dilanjut “tapi, nanti jangan bilang-bilang ke yang lain ya kalau masih kontrak karena takutnya yang lain gimana, di sini tuh banyak yang mau tapi saya pilih-pilih, kek pegawai-pegawai swasta saya tidak terima, bahkan ada pegawai bank BC$ saya tolak” kurang lebih begitulah jawabannya. Dari situ, aku bukannya justru merasa istimewa karena diperbolehkan, tapi dalam hati tentu sedikit keberatan kenapa aku harus menyembunyikan terkait status pekerjaan ku.

Lanjut cerita, lalu aku iseng balik bertanya alasan dibalik bapaknya menerapkan standar tertentu (dari situ aku merasa bapaknya mulai mencoba untuk menilai dan menerka kepribadianku). Lalu bapaknya menjelaskan panjang terkait penilaian, pendapat, dan prinsipnya yang pada intinya kalau pekerjaannya tidak jelas, atau swasta-swasta seperti itu terkadang kan kesejahteraan sosial ekonominya kurang terjamin dan itu akan mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, salah satunya adalah pencurian atau keributan yang dapat menyebabkan kerugian. Sebagai seorang businessman tentu bapaknya memiliki pemikiran yang jauh dan panjang, daripada dia harus membayar penjaga untuk hal tersebut, lebih untung jika dia cukup menggunakan teknologi keamanan (CCTV) dan langkah-langkah preventif seperti membatasi calon penghuni kosnya dan membuat kos nya lebih tertutup. Privatisasi tersebut juga memiliki alasan untuk menjaga ruang private para penghuni kos nya yang katanya beberapa diantaranya merupakan pembesar.

Alasan di atas sedikit berat untuk kuterima dan masuk di logikaku. Namun tidak bisa kubantah, karena itu sepenuhnya hak nya. Dan hak ku sebatas memutuskan untuk jadi atau tidaknya menyewa. Loncat cerita, setelah berbagai pertimbangan pro-cons dan masukan berhari-hari, hal itu menjadi salah satu alasan aku tidak jadi untuk menyewanya. Bagaimana tidak, he is too biased to link the socioeconomic status to the criminal psyche of individuals. Sebagai manusia biasa yang punya rasa takut dan kawatir, tentu aku berpikir realistis, apabila suatu saat ada kejadian kecolongan, does it means I’m a suspected target? because I’m the only one or one of the lowest among them? oh shittt…

Sebagai seorang yang pernah belajar dan mengambil tema geografi kejahatan dalam skripsinya, aku tidak memungkiri atau menihilkan bahwa kondisi bahkan status sosial ekonomi memang memiliki pengaruh cukup besar yang mendorong manusia melakukan tindak kriminal, tapi menjadikannya standar untuk menilai seseorang dan menjadikannya alasan untuk menciptakan ruang-ruang eksklusif dengan alasan keamanan dan kenyamanan, hmmmmm it’s too draining to think about. Selama percakapan, mungkin lebih dari 3 kali bapaknya mengklaim dirinya sebagai orang yang pintar dan tidak bodoh. Mungkin benar adanya jika berdasarkan dari kesuksesan materil yang telah dia capai. Tapi tidak dengan penilaiannya tentang status sosial ekonomi dan psikologi kriminal individu serta bagaimana dia menilai ART nya. Dia menganggap ART nya bodoh karena dia merasa sang ART tidak bisa banyak belajar darinya dan tidak merima cara berpikir atau mindset yang coba ia ajarkan. Dia bercerita, bagaimana dia pernah meminta ART nya untuk tidak memberikan seluruh gajinya kepada keluarga sehingga dia dapat menyisihkan gajinya untuk tabungan masa depan atau keperluannya sendiri. Namun sang ART justru merasa takut, karena berpikir sang majikan memintanya menyimpan uang supaya sewaktu-waktu dapat dipinjam atau mungkin ia merasa tak nyaman karena sang majikan terlalu ikut campur. Hal-hal seperti itu semakin membuatnya merasa berhak untuk menggolongkan seseorang berdasarkan pintar-bodohnya. Mendengar ceritanya, I think He’s not smart enough for someone who claims himself as a smart person with tons of experience. Or maybe He’s smart but not wise and not sensitive.

Bagaimana tidak? Apa yang dia lakukan mungkin tidak salah, bahkan merupakan bentuk kepeduliannya terhadap penyewa kos maupun ART nya. Namun reaksi yang diberikan ART atas masukan atau ajaran majikannya bukanlah sesuatu yang sepenuhnya mengejutkan. Kejadian tersebut seolah contoh nyata pada beberapa paragraf buku yang sedang kubaca yaitu “Pendidikan Kaum Tertindas” oleh Paulo Freire. Secara sadar atau tidak, jelas ada perbedaan kelas dan dominasi antara sang bapak sebagai majikan dan ART nya. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana perjuangan terhadap kebebasan membutuhkan peran aktif dan bersama antara kaum penindas (penguasa) maupun kaum tertindas (dibawah penguasaan).

Kaum tertindas harus membuktikan kekebalan kaum penindas sehingga keyakinan sebaliknya dapat tumbuh dalam diri mereka. Sebelum itu terjadi, mereka akan tetap merasa diri ketakutan dan kalah (lihat buku Debray, Revolution in the Revolution). Selama kaum tertindas tidak menyadari sebab-sebab dari keadaan mereka, secara “fatalistik” mereka menerima pemerasan atas diri mereka. Lebih Jauh, mereka mudah bereaksi secara pasif dan terasing jika dihadapkan pada keharusan untuk berjuang bagi kebebasan dan afirmasi dirinya (Freire, 1972).

Dalam hal ini, sang bapak bercerita mencoba memberikan arahan dan menunjukkan bagaimana cara membebaskan diri dari berbagai tanggungan agar suatu saat dapat menjadi individu yang lebih mandiri dan tidak tergantung padanya. Namun yang tejadi hanyalah reaksi pasif dan justru penghindaraan dari sang ART. Hal itu sangat mungkin terjadi karena mungkin belum adanya kesadaran dari ART yang masih dipenuhi rasa takut dan kalah. Apabila kesadaran itu belum ada, namun sang bapak hanya peduli dengan pendapat dan pemikirannya tentang bagaimana seharusnya dia bersikap, maka yang terjadi hanyalah berupa invasi atau serangan.

Setiap bentuk dominasi selalu mengandung invasi, kadangkala secara fisik dan terbuka, kadangkala tersamar, kadang berkamuflase sebagai seorang kawan yang hendak membantu. Dan yang paling penting, invasi adalah suatu bentuk dominasi ekonomi dan budaya. Invasi mungkin dilakukan oleh suatu masyarakat metropolitan terhadap suatu masyarakat yang punya ketergantungan, atau mungkin terselip dalam dominasi suatu kelas atas kelas yang lain dalam masyarakat yang sama (Freire, 1972).

Namun semua itu kembali lagi pada hak prerogative nya untuk menetapkan aturan-aturan di ruang private nya, bagaimana ia mengkalkulasi modal kapitalnya, serta idealisme-idealisme yang ia konsumsi. Aku juga sempat berpikir, mungkin aku akan bisa banyak belajar dari (yang katanya) orang-orang hebat didalamnya. Baru 2 jam awal saja banyak yang bisa ku tangkap. Tapi apalah daya, aku tak jauh bedanya dari sang ART, yang terlebih dulu takut dan merasa rendah diri akan adanya relasi kuasa yang sudah diciptakan diawal, dan itu juga bukanlah awal yang baik dari proses belajar. Sehingga aku memutuskan untuk mencoba mencari-cari kos yang lain terlebih dahulu.

Masih banyak topik cerita yang ingin kutuliskan selama percakapan kami, namun karena sudah terlalu panjang, mungkin untuk topik berikutnya di cerita selanjutnya. Sedikit hal lucu dari bapaknya adalah ia menilaiku sebagai individu yang terbuka, santai, bisa membuka obrolan, dan cukup pintar untuk menangkap apa yang dia bicarakan. Hal itu aku anggap sebagai pujian, thanks Mr. ☺ Meskipun aku tidak mengamini sepenuhnya penilaian tersebut, setidaknya aku cukup senang ternyata aku cukup mampu berpura-pura dan mengontrol diri untuk jadi lawan bicara yang seimbang. It’s means I can trick you Mr. Haha just kidding sir.

--

--