Memulai perjalanan di belahan bumi yang konon katanya terlahir ketika Tuhan sedang tersenyum (2)

Ikrima Barrorotul Farikhiyah
4 min readSep 14, 2023

--

Be careful, too high women’s education, too hard to find a match. So, consider that (!)(?)

Hal menarik lainnya dalam perbincangan kami adalah ketika aku nyeplos sedikit tentang keinginanku untuk melanjutkan studi lanjut. Tanpa sengaja, bapaknya teringat tentang kekhawatirannya terhadap sang anak. Singkat cerita, dia memiliki anak tunggal perempuan yang telah sukses dan melalang buana, dengan latar belakang pendidikan S2-S3 di bidang klimatologi atau sejenisnya dari universitas luar negeri. Dia cerita, bagaimana sejak muda anaknya telah dituntut untuk banyak belajar dan sekolah tinggi tanpa harus cemas dengan biaya, bahkan S1 nya dituntut untuk double degree (how lucky she is, having those privileges). Dari yang awalnya tertekan dan menangis hingga menjadi candu. Saat ini anaknya telah memiliki karir yang bisa dibanggakan dan gemilang, bekerja di pusat-pusat penelitian internasional dan staff ahli kementerian. Saat ini, ia memilih tinggal di Bali dengan berbagai kebutuhan sandang, papan, pangan hingga kebutuhan tarsier lainnya yang telah mampu ia penuhi sendiri hingga dia tidak merasa ingin dan perlu untuk meneruskan bisnis orangtua nya.

Kondisi demikian tidak lantas membuat sang bapak puas dan lega, bahkan diakui terbesit sedikit penyesalan dalam dari bapaknya karena setelah apa yang selama ini ia ajarkan dan lakukan kepada anaknya ternyata secara tidak langsung berdampak pada anaknya yang saat ini masih hidup melajang diusia yang sudah kepala 3. Terkait ketidakmauan sang anak untuk melanjutkan beberapa usahanya hingga salah satu usahanya harus terpaksa tutup mungkin hanyalah masalah kecil yang dapat dimaklumi. But, how about marriage?

Lalu bapaknya (entah sadar atau tidak) berucap “jadi kalau mau sekolah lagi ya itu, dipertimbangkan hahaha”. Dan aku hanya tersenyum. Sedikit terkejut, banyak kebalnya. Bagaimana tidak? terkejut karena ternyata pemikiran seperti itu tidak hanya mengendap di orang desa, kelas ekonomi menengah ke bawah, tidak berpendidikan, atau golongan keterbatasan lainnya. Pemikiran atau perasaan tersebut juga dimiliki orang-orang yang berkelebihan. Kebal karena hal itu memang menjamur di masyarakat.

Jika benar pendidikan dapat menghambat jodoh seseorang, kenapa hanya perempuan yang terhambat jodohnya?, sedangkan pepatah lain mengatakan, semakin berpendidikan seorang laki-laki, semakin kaya dia, semakin ini itu, maka perempuan akan datang dengan sendirinya. It’s too weird, right?. Sebagai manusia yang bertuhan, saya yakin tuhan sangat adil perihal jodoh umatnya. Lalu mengapa ada kekawatiran tersebut? Kekawatiran itu juga tentunya timbul bukan tanpa sebab, dan tidak dipungkiri sebab itu menyebabkan fenomena yang bukan hanya satu atau dua, sehingga dapat menimbulkan suatu keyakinan. Lantas apa sebabnya? patriarki? gap pendidikan? perubahan paradigma? krisis keyakinan? destiny? or what? OMG,,,, too many possibilities, and who knows for sure? but why some people too rush to mention high education for women is the main factor.

Telah banyak data dan penelitian yang menggambarkan dan mengulas tentang hubungan pendidikan perempuan dengan dunia pernikahannya. Hasilnya cukup beragam, di mana setiap daerah memiliki kecenderungan hubungan yang berbeda. Sebagaimana contohnya 2 negara besar saat ini yang seringkali mengguncang perekonomian dunia yaitu Amerika dan Cina. Di negara Amerika menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan perempuan tidak atau kecil berpengaruh terhadap hubungan 2 sejoli, data menunjukkan banyak pasangan dimana sang istri memiliki gelar yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Sedangkan di Cina mengalami persepsi yang bertolak belakang. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi kemungkinan akan kesulitan mencari pasangan hidup, namun jika laki-laki yang berpendidikan tinggi justru akan semakin mudah mencari pasangan. Hal tersebut karena peran laki-laki mencari nafkah dan perempuan menjadi ibu rumah tangga masih kental. Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Cina (ya sesama Asia lah ya..) Berdasarkan data populasi single di Indonesia, mengisyaratkan bahwa jumlah populasi berpendidikan (S1) namun single memang lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Meskipun demikian, secara keseluruhan populasi single didominasi oleh laki-laki, yang mengisyaratkan justru laki-laki yang berpendidikan rendah berpulang kecil untuk berpasangan. Do you see the differences?

datanesia.id, 2022

Pada dasarnya semakin manusia tahu atau memahami sesuatu, semakin dia kritis terhadap sesuatu tersebut. Saya cukup memahami, jika alasan perempuan berpendidikan (anak dari sang bapak) merasa kesulitan menemukan pasangan karena sulitnya membangun komunikasi yang “sefrekuensi”. Ketidaksamaan pemahaman atau gap pengetahuan dapat menghambat timbal balik percakapan, sehingga tidak akan menciptakan dialog, yang mana hal itu penting dalam sebuah hubungan. Namun yang sulit saya pahami adalah mengapa sebagian besar yang merasakan adalah wanita? apakah laki-laki tidak peduli terkait komunikasi dan dialog seimbang, sehingga sedikit diantara mereka yang menemukan masalah demikian? I think no.. it’s totally wrong. The man wants partner in the same level too.

Data di atas sebenernya sudah secara tersirat menjawab mengapa perempuan berpendidikan lebih banyak yang single daripada laki-laki yang berpendidikan. C’mon guys, you can see and know the answer right?

Sebagian besar pria yang cerdas dan berpendidikan tinggi justru akan menjadi perebutan tanpa adanya kekawatiran terhadap pasangan dan tentunya semakin memiliki banyak pilihan, sehingga peluang mereka untuk berpasangan lebih besar. Hal tersebut karena memang saat ini lebih banyak perempuan yang berpendidikan, sehingga bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menemukan pasangan yang selevel. Sedangkan perempuan mengalami kesulitan, karena memang jumlah laki-laki berpendidikan lebih sedikit. So, instead of thinking that women’s higher education hinders marriage, reinforcing, and perpetuating the stigma, it is better for us to encourage men to improve their education as well.

See you in the next story. Sorry if you can’t understand what i mean so well. Hopefully, I can deliver it better.

--

--