Refleksi

Ikrima Barrorotul Farikhiyah
5 min readMar 8, 2021

--

Pasti kamu pernah mendengar bahkan setuju dengan pernyataan ini “Orang berbuat kejahatan karena ada kesempatan”.

Ya… kalimat tersebut sekilas baik-baik saja dan benar adanya. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dan waspada dalam hidup yang berjalan seperti baji**an ini (kata Nadin). Oh tapi pasti beda lagi kalau menurut Kartini, Nia Ramadhani, dan Megawati.

Back to Topic, sudah lama saya mempertanyakan kembali pernyataan di atas dan belakangan ini saya makin miris dibuatnya. Banyak orang yang mengartikan pernyataan itu dengan mentah-mentah dan menggunakannya di semua waktu, kondisi, dan kejadian. Dan kamu tau apa dampak terburuknya? Ya jelas… merepresi korban dan mewajarkan pelaku kejahatan. Ibaratnya, kamu melihat orang jatuh, kemudian tanpa sadar atau bahkan dengan sengaja menjatuhkan tangga kepadanya. But, the most fucking things adalah ketika pernyataan itu juga digunakan pada kasus penipuan bahkan kekerasan seksual.

Aku sebagai korban penipuan digital, yang dirugikan secara materi saja merasa bodoh, useless, malu, and I lost my confidence for a few days karena mendengar respond yang kurang empati setelah menanyakan kronologi “Oh itu sudah sering terjadi, kenapa kamu angkat telponnya? Lain kali kalau ada nomer tidak dikenal abaikan saja”. Pertanyaan kenapa kamu dan mengapa kamu pada korban membuat seolah kejahatan itu terjadi semata-mata karena kelalaian dan kebodohanku sebagai korban. Dan sialnya pernyataan itu aku dengar dari polisi, sebagai pihak pertama yang ada di pikiranku yang kuanggap bisa menolongku, karena sebagaimana yang diajarkan sejak SD bahwa fungsi polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Tapi ah sudahlah… memang benar, berharap pada polisi hanya berakhir kecewa. Ah.. paling-paling kasusku cuma menambah angka laporan penipuan saja, yang setelah itu bisa dijadikan data skripsi tentang kasus penipuan digital di era globalisasi atau cuma jadi bahan alerta alerta polisi. Tanpa adanya tindak lanjut dan penyelesaian. Untungnya teman-temanku cukup empati meskipun ada saja yang bersikap hanya pengen tahu dan berujung judging.

Contohku itu mungkin tak seberapa, atau bahkan bagi sebagian orang yang mendengarnya menganggapku lebay. Tapi pernahkah kamu berfikir, bagaimana lebih terpuruknya korban jika hal itu terjadi pada kasus kekerasan seksual?. Yahhh.. nyatanya itu juga terjadi pada kasus pelecehan seksual. Beberapa minggu yang lalu, aku mendengar kabar buruk dari temanku yang menjadi korban pelecehan seksual, dimana kejadiannya berada di dekat kantor polisi. Turut sedih mendengarkan bagaimana kronologinya, apa yang dia rasakan dan hancurnya dia ketika mendapati respond yang kurang berempati. Dari kisahnya itu, ada satu hal yang benar-benar perlu kita renungkan bersama, bahwa kata “hati-hati” saja bisa menjadi belati bagi seseorang apabila digunakan pada waktu yang tidak tepat. Taukah kamu kenapa? karena respond “semoga lain kali kamu bisa lebih berhati-hati” pada kasus pelecehan seksual seolah mengamini bahwa kejahatan itu lagi-lagi salah sang korban yang tidak berhati-hati, sehingga pelaku kejahatan berhak mengambil kesempatan itu untuk melakukan tindakan biadabnya. Dan taukah kamu the power of word bagi korban kejahatan? kamu dapat menambahkan secondary trauma pada korban. Padahal pada kasus kejahatan apapun, pelaku kejahatan tetaplah villain yang tidak seharusnya dimaklumi tindakannya dan harus diberantas. So, STOP telling the victim to be careful, instead START telling the villain not to be evil and take care their desire. And the same way, STOP telling women to be careful, instead START telling men to be respectful.

Dan geramnya lagi, ketika dia menceritakan respond laporannya ke polisi. Lagi dan lagi polisi hanya berkata “Iya mbak, sekarang lagi marak begal payudara”. Kalau sudah tau kenapa tidak ditindak lanjuti Pak Isilop? Anda ini polisi atau wartawan yang cuma memberitahu apa yang sedang marak terjadi? Padahal sudah jelas ada laporan dari korban lain yang sama persis dengan kasus temanku, menunggu berapa korban lagi pakpol?. Penulisan kronologi kejadianpun sangat menyebalkan. Bisa-bisanya polisi memaksa temanku untuk menuliskan bahwa pelaku pelecehan “tidak sengaja” merobek baju korban dengan alasan pelaku memang tidak berniat merobek baju korban. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan pelaku meraih apa yang diinginkan (payudara korban) sehingga tanpa sengaja baju korban terobek. Ketika pelapor menanyakan terkait ada tidaknya CCTV sebagai bukti pelaporan, dengan gampang polisi menjawab tidak ada, dan ketika ditanya apakah sudah di check?, dengan mudah mereka menjawab belum.

Bias pemikiran “Orang berbuat kejahatan karena ada kesempatan” pun dialami oleh temanku, ketika aku sedang menunjukkan drama pendek Thailand yang berjudul “The Leaked” (You can watch on youtube). Drama itu mengangkat isu sosial remaja tentang revenge porn yang semakin melonjak di era digital seperti sekarang. Dimana video syur yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi, dijadikan alat untuk mengontrol dan menekan objek bahkan dikormersilkan untuk meraup keuntungan pribadi tanpa persetujuan objek yang terekam didalamnya. Temanku mencoba menyatakan perspektif lainnya tentang video tersebut setelah kita berbagi pandangan dari sisi etika dan kesalahan pengambilan keputusan aktor di drama tersebut.

“dia (penjahat yang merekam tanpa izin dan penjahat yang mengancam menyebarkan video syur untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari objek) melakukan kesalahan dengan mengambil kesempatan ketika orang lain (objek yang terekam atau korban revenge porn) berbuat salah”

Pendapat tersebut semakin meyakinkanku betapa bahayanya bias pemikiran dari pernyataan itu. Karena tanpa atau dengan kesadaran hal itu akan mempengaruhi bagaimana cara dan sikap kita merespon kejahatan. Dalam kasus seperti di drama tersebut, temanku masih bergulat dengan mencari siapa yang salah dan benar serta hanya menyimpulkan bahwa kesalahan ataupun kebenaran itu relatif dan dia belum bisa menentukan keberpihakannya ada dimana. Padahal keberpihakan terkadang sangat perlu dan harus ditunjukkan, karena kita tidak pernah tau seberapa besar dampaknya untuk orang lain. Bahkan dia masih menganggap kalau kasus seperti itu sebagai konsekuensi atas tindakan yang telah diperbuat korban.

Hal yang aku takutkan dari biasnya pemikiran dari pernyataan diatas adalah kejahatan hanya dipandang sebagai kejadian naas yang terjadi karena kelalaian, kesalahan, dan kurang kehati-hatian dari korban kemudian melupakan tuntutan tegas kepada pelaku kejahatan. Sehingga pelaku kejahatan yang ada terus dimaklumi dan kejahatan terus terjadi baik itu kejahatan simbolis maupun kejahatan yang merugikan fisik atau materi. Oleh karena itu, jangan sampai tanpa kita sadari, kita turut menyuburkannya bahkan menjadi penjahat bagi orang lain karena penyebab dan akar dari kejahatan beragam bentuknya.

--

--